Selamat Datang Di Blog Laut Kita

Penulis akan sangat berterima kasih jika pembaca bisa berkomentar tentang tulisan ini. Silahkan berikan masukan, kritikan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.

Minggu, 09 Januari 2011

Pengaruh Global Warming Terhadap Ikan Pelagis

I.     PENDUHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita tahu bahwa laut di permukaan bumi ini menempati sebagian besar permukaan bumi, ini menampakkan betapa pentingnya laut bagi keseimbangan kehidupan di bumi. Seperti yang dipaparkan oleh Prager dan Earle, 2000 dalam Dahuri R., 2003, Secara global laut meliputi dua pertiga dari permukaan bumi dan menyediakan sekitar 97% dari keseluruhan ruang kehidupan di bumi, dan laut telah membentuk dan mendukung keberadaan serta kehidupan umat manusia di bumi sejak munculnya mahluk hidup pertama dari laut.
Geografi Indonesia sebagai negara maritim bukan hanya memberikan makna yang besar bagi penduduknya, namun juga berperan penting dalam dimensi kepentingan global. Sisi lain dari kekayaan hayati dan nirhayati yang besar adalah bahwa lautan Indonesia memegang peranan penting dalam pengaturan sistim cuaca dan iklim  dunia  terutama sejak issue global warming diungkap, (Harsono, G.,2010).
Di Indonesia sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah dan paling banyak ditangkap untuk dijadikan konsumsi masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, sedangkan ikan pelagis besar seperti tuna merupakan sebagian besar produk unggulan ekspor di Indonesia. Ikan pelagis kecil umumnya hidup di daerah neritik dan membentuk schooling juga berfungsi sebagai konsumen antara dalam food chain (antara produsen dengan ikan-ikan besar), (Suyedi R., 2001).
Dengan karakter  oseanografinya negara Indonesia yang sangat dinamis ini, perairan ini menjadi subur dengan kelimpahan hayati yang cukup tinggi. Melimpahnya kekayaan hayati ini bahkan menurut Harsono, G.,2010 menjadi daya tarik bagi para nelayan asing untuk mencari ikan pelagis bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, cakalang, tongkol, tenggiri dan setuhuk.
1.2  Perumusan masalah
Dari fakta-fakta yang diuraikan sebelumnya maka diperoleh batasan masalah yaitu “Apakah pemanasan global (global warming) dapat mempengaruhi  ikan pelagis di wilayah lautan Indonesia “.
1.3  Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk membahas pengaruh pemanasan global (global warming) terhadap ikan pelagis di lautan Indonesia.

II.    TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemanasan Global
Pemanasan global (Global Warming) adalah meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Berubahnya komposisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, dimana konsentrasi gas rumah kaca tersebut menurut mbojo.wordpress.com/2008 meningkat secara global akibat kegiatan manusia dan menyebabkan sinar matahari yang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa, sebagian besar terperangkap di dalam bumi akibat terhambat oleh GRK tadi.
Proses terjadinya pemanasan global seperti yang dijelaskan oleh mbojo.wordpress.com/2008, bahwa sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya. Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.
Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO2 (Karbon dioksida),CH4(Metan) dan N2O (Nitrous Oksida), HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) and SF6 (Sulphur hexafluoride) yang berada di atmosfer dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor, AC, komputer, memasak. Selain itu GRK juga dihasilkan dari pembakaran dan penggundulan hutan serta aktivitas pertanian dan peternakan. GRK yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, seperti karbondioksida, metana, dan nitroksida, menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer (mbojo.wordpress.com/2008).
Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atomsfer (uap air, karbondioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60°F/15°C, (Anonymous, 2002).
2.2  Sumberdaya Ikan Pelagis
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Sedangkan ikan demersal adalah ikan-ikan yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya, (Nelwan A.,2004).
Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lain-lain, serta ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung, dan lain-lain. Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut, (Nelwan A.,2004).
Menurut Fauziya et al., (2010), school atau kawanan merupakan struktur paling penting dalam kehidupan beberapa populasi ikan pelagis. Untuk alasan tersebut maka ikan pelagis tidak dapat hidup sendiri contohnya ikan sardine, namun manusia memanfaatkan schooling untuk menangkap ikan pelagis (contoh alat tangkap trawl dan purse seine) dalam jumlah yang banyak karena ikan dalam kondisi berkelompok nilai kepadatannya akan berbeda dibandingkan jika dalam kondisi scatter atau terpencar. Pembentukan kelompok pada ikan dipengaruhi oleh tingkah laku migrasi ikan dalam kolom perairan sehingga tujuan pengelolaan dan pendugaan stok ikan secara praktis, informasi mengenai karakteristik migrasi sangatlah penting.
Zona potensi ikan ditentukan dengan kombinasi data/peta sebaran suhu permukaan laut, kandungan klorofil, pola arus laut, cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap suhu air. Dari hasil pengamatan secara multitemporal dapat diketahui bahwa sebaran suhu permukaan laut di wilayah perairan laut Indonesia berubah dengan cepat (Hasyim B., 2004).
2.1.1 Sumberdaya ikan pelagis kecil
Ikan pelagis kecil hidup pada daerah pantai yang relatif kondisi lingkungannya tidak stabil menjadikan kepadatan ikan juga berfluktuasi dan cenderung muda mendapat tekanan akibat kegiatan pemanfaatan, karena daerah pantai mudah dijangkau oleh aktivitas manusia. Jenis ikan pelagis kecil yang dimaksudkan adalah ikan layang, kembung, tembang, teri, dan lain-lain.
Sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia dan mempunyai potensi sebesar 3,2 juta (Widodo et al,  1998 dalam Nelwan A., 2004). Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai, di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan air (upwelling) dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke, 1988 dalam Nelwan A., 2004).
Penyebaran ikan pelagis kecil di Indonesia merata di seluruh perairan, namun ada beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti Lemuru (Sardinella Longiceps) banyak tertangkap di Selat Bali, Layang (Decapterus spp) di Selat Bali, Makassar, Ambon dan Laut Jawa, Kembung Lelaki (Rastrelinger kanagurta) di Selat Malaka dan Kalimantan, Kembung Perempuan (Rastrelinger neglectus) di Sumatera Barat, Tapanuli dan Kalimantan Barat, (Suyedi R., 2001).
2.1.2 Sumberdaya ikan pelagis besar
Ikan pelagis besar hidup pada laut lepas dengan kondisi lingkungan relatif  stabil, disamping itu ikan pelagis besar umumnya melakukan migrasi sepanjang tahun dengan jarak jauh. Secara biologis kelompok cakalang, tuna, dan tongkol termasuk kedalam kategori ikan yang mempunyai tingkah laku melakukan migrasi dengan jarak jauh (highly migratory species) melampaui batas-batas yuridiksi suatu negara. Keadaan tersebut akan menyebabkan penambahan dan pengurangan stok di suatu perairan yang berperan penting dalam sediaan lokal pada saat terjadi musim penangkapan (Nelwan A., 2004).
Ikan Pelagis besar menyebar di perairan yang relatif dalam, bersalinitas tinggi, kecuali ikan tongkol yang sifatnya lebih kosmopolitan dapat hidup di perairan yang relatif dangkal dan bersalinitas lebih rendah. Sifat epipelagis dan oseanis menjadikan penyebaran sumberdaya ikan pelagis besar secara vertikal sangat dipengaruhi lapisan thermoklin yang juga adalah struktur lapisan massa air yang terbentuk akibat perbedaan suhu. Demikian pula penyebaran secara horizontal yang dipengaruhi oleh faktor perbedaan suhu dan juga ketersediaan makanan, (Nelwan A., 2004).
 
III.             PEMBAHASAN
Pemanasan global telah banyak mempengaruhi kehidupan mahluk hidup yang ada didunia ini, baik kehidupan yang ada di daratan maupun kehidupan yang ada di lautan, begitu juga dengan ikan pelagis. Riberu P., (2002) mengatakan populasi yang hidup pada suatu habitat dalam lingkungan, dapat memenuhi kebutuhannya karena lingkungan mempunyai kemampuan untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan populasi disebut daya dukung (carrying capacity). Daya dukung lingkungan tersebut merupakan sumber daya alam lingkungan. Sementara itu kemampuan lingkungan mempunyai batas, sehingga apabila keadaan lingkungan berubah maka daya dukung lingkungan juga berubah. Hal ini karena daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh faktor pembatas, seperti: cuaca, iklim, pembakaran, banjir, gempa, dan kegiatan manusia.
Ikan pelagis juga termasuk ikan yang selalu melakukan migrasi, baik migrasi untuk mencari makan (feeding migration) maupun migrasi untuk tujuan memijah (spawning ground). Ikan pelagis dalam melakukan migrasi selalu mencari suhu yang dapat ditolerir dengan kehidupannya. Ini berarti bahwa ketersediaan (stok) ikan pelagis memang dibatasi oleh suhu. Bahri, T. and P. Freon, (2000) dalam Fauziya et al., (2010) menjelaskan bahwa pembentukan schooling ikan umumnya dipengaruhi oleh  stimuli atau rangsangan dari luar seperti menghindari predator atau mencari lingkungan yang sesuai dan stimuli internal seperti memijah, mencari makanan dan sifat/tingkah laku ikan tersebut.
Menurut Hasyim B., (2004), keadaan lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme mempunyai kesenangan/toleransi yang berbeda-beda. Misalnya suhu optimal untuk Yellow fin adalah 20-28° C, Albacore 14-22° C, Cakalang 26-29° C, Blue fin tuna 10-28° C dan Big eye tuna 17-23° C. Demikian pula pada daerah upwelling dimana produktifitas primernya cukup tinggi, sering didapatkan kelimpahan kelompok ikan yang lebih tinggi daripada daerah lainnya.
Kisaran suhu antara 28,1 - 29,10 C diduga sebagai batas toleransi ikan pelagis dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Pada umumnya ikan-ikan akan memilih perairan dengan nilai suhu tertentu untuk dapat hidup dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan pergerakan ikan ( Fauziya et al., 2010).
 Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C (Ayanfirdaus.wordpress.com).
Keberadaan ikan pelagis juga akan terancam apabila makanannya berkurang seperti yang dikatakan oleh Dahuri R., (2003) hilangnya spesies tertentu akan mengakibatkan spesies lain yang menjadi predatornya ikut mengalami kepunahan, hal ini terkait dengan sistem rantai makanan di perairan laut.
Indra, (2010) menceritakan, konsep Lotka Volterra (Lotka ahli fisika dari Amerika dan Volterra ahli matematika dari Italia)  pernah diterapkan pada perikanan di Italia setelah Perang Dunia II.  Ketika itu masyarakat Itali ramai-ramai menangkap ikan pelagis kecil yang ada di sekitar perairan pesisir.  Karena input atau effort yang cukup tinggi, sehingga lama-kelamaan terjadi tangkap lebih (overfishing) dan degradasi sumber daya ikan di tempat tersebut.  Setelah setahun kemudian, ternyata hasil tangkapan pelagis besar dari laut lepas mengalami penurunan secara signifikan.  Setelah diteliti diketahui bahwa ada hubungan rantai makanan antara pelagis kecil yang ada di perairan pesisir dan pelagis besar yang ada di laut lepas.  Karena ketersediaan pelagis kecil (sebagai prey) telah terdegradasi akibat overfishing, maka ikan pelagis besar (sebagai predator) kekurangan makan, sehingga mereka pindah (migrasi) ke tempat lainnya yang masih tersedia cukup makanan.
  
IV.      KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu permukaan laut yang diakibatkan oleh pemanasan global (global warming) dapat mempengaruhi secara fisiologis karena mempunyai kemampuan toleransi suhu  tertentu yang dominan antara 200 – 300 C dan juga dapat mempengaruhi kehidupan ikan pelagis terkait dengan rantai makanan.

Pengaruh Global Warming Terhadap Ikan Pelagis

I.     PENDUHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita tahu bahwa laut di permukaan bumi ini menempati sebagian besar permukaan bumi, ini menampakkan betapa pentingnya laut bagi keseimbangan kehidupan di bumi. Seperti yang dipaparkan oleh Prager dan Earle, 2000 dalam Dahuri R., 2003, Secara global laut meliputi dua pertiga dari permukaan bumi dan menyediakan sekitar 97% dari keseluruhan ruang kehidupan di bumi, dan laut telah membentuk dan mendukung keberadaan serta kehidupan umat manusia di bumi sejak munculnya mahluk hidup pertama dari laut.
Geografi Indonesia sebagai negara maritim bukan hanya memberikan makna yang besar bagi penduduknya, namun juga berperan penting dalam dimensi kepentingan global. Sisi lain dari kekayaan hayati dan nirhayati yang besar adalah bahwa lautan Indonesia memegang peranan penting dalam pengaturan sistim cuaca dan iklim  dunia  terutama sejak issue global warming diungkap, (Harsono, G.,2010).
Di Indonesia sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah dan paling banyak ditangkap untuk dijadikan konsumsi masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, sedangkan ikan pelagis besar seperti tuna merupakan sebagian besar produk unggulan ekspor di Indonesia. Ikan pelagis kecil umumnya hidup di daerah neritik dan membentuk schooling juga berfungsi sebagai konsumen antara dalam food chain (antara produsen dengan ikan-ikan besar), (Suyedi R., 2001).
Dengan karakter  oseanografinya negara Indonesia yang sangat dinamis ini, perairan ini menjadi subur dengan kelimpahan hayati yang cukup tinggi. Melimpahnya kekayaan hayati ini bahkan menurut Harsono, G.,2010 menjadi daya tarik bagi para nelayan asing untuk mencari ikan pelagis bernilai ekonomi tinggi seperti tuna, cakalang, tongkol, tenggiri dan setuhuk.
1.2  Perumusan masalah
Dari fakta-fakta yang diuraikan sebelumnya maka diperoleh batasan masalah yaitu “Apakah pemanasan global (global warming) dapat mempengaruhi  ikan pelagis di wilayah lautan Indonesia “.
1.3  Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk membahas pengaruh pemanasan global (global warming) terhadap ikan pelagis di lautan Indonesia.

II.    TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemanasan Global
Pemanasan global (Global Warming) adalah meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Berubahnya komposisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, dimana konsentrasi gas rumah kaca tersebut menurut mbojo.wordpress.com/2008 meningkat secara global akibat kegiatan manusia dan menyebabkan sinar matahari yang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa, sebagian besar terperangkap di dalam bumi akibat terhambat oleh GRK tadi.
Proses terjadinya pemanasan global seperti yang dijelaskan oleh mbojo.wordpress.com/2008, bahwa sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya. Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.
Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO2 (Karbon dioksida),CH4(Metan) dan N2O (Nitrous Oksida), HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) and SF6 (Sulphur hexafluoride) yang berada di atmosfer dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor, AC, komputer, memasak. Selain itu GRK juga dihasilkan dari pembakaran dan penggundulan hutan serta aktivitas pertanian dan peternakan. GRK yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, seperti karbondioksida, metana, dan nitroksida, menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer (mbojo.wordpress.com/2008).
Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atomsfer (uap air, karbondioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60°F/15°C, (Anonymous, 2002).
2.2  Sumberdaya Ikan Pelagis
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Sedangkan ikan demersal adalah ikan-ikan yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya, (Nelwan A.,2004).
Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lain-lain, serta ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung, dan lain-lain. Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut, (Nelwan A.,2004).
Menurut Fauziya et al., (2010), school atau kawanan merupakan struktur paling penting dalam kehidupan beberapa populasi ikan pelagis. Untuk alasan tersebut maka ikan pelagis tidak dapat hidup sendiri contohnya ikan sardine, namun manusia memanfaatkan schooling untuk menangkap ikan pelagis (contoh alat tangkap trawl dan purse seine) dalam jumlah yang banyak karena ikan dalam kondisi berkelompok nilai kepadatannya akan berbeda dibandingkan jika dalam kondisi scatter atau terpencar. Pembentukan kelompok pada ikan dipengaruhi oleh tingkah laku migrasi ikan dalam kolom perairan sehingga tujuan pengelolaan dan pendugaan stok ikan secara praktis, informasi mengenai karakteristik migrasi sangatlah penting.
Zona potensi ikan ditentukan dengan kombinasi data/peta sebaran suhu permukaan laut, kandungan klorofil, pola arus laut, cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap suhu air. Dari hasil pengamatan secara multitemporal dapat diketahui bahwa sebaran suhu permukaan laut di wilayah perairan laut Indonesia berubah dengan cepat (Hasyim B., 2004).
2.1.1 Sumberdaya ikan pelagis kecil
Ikan pelagis kecil hidup pada daerah pantai yang relatif kondisi lingkungannya tidak stabil menjadikan kepadatan ikan juga berfluktuasi dan cenderung muda mendapat tekanan akibat kegiatan pemanfaatan, karena daerah pantai mudah dijangkau oleh aktivitas manusia. Jenis ikan pelagis kecil yang dimaksudkan adalah ikan layang, kembung, tembang, teri, dan lain-lain.
Sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia dan mempunyai potensi sebesar 3,2 juta (Widodo et al,  1998 dalam Nelwan A., 2004). Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai, di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan air (upwelling) dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke, 1988 dalam Nelwan A., 2004).
Penyebaran ikan pelagis kecil di Indonesia merata di seluruh perairan, namun ada beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti Lemuru (Sardinella Longiceps) banyak tertangkap di Selat Bali, Layang (Decapterus spp) di Selat Bali, Makassar, Ambon dan Laut Jawa, Kembung Lelaki (Rastrelinger kanagurta) di Selat Malaka dan Kalimantan, Kembung Perempuan (Rastrelinger neglectus) di Sumatera Barat, Tapanuli dan Kalimantan Barat, (Suyedi R., 2001).
2.1.2 Sumberdaya ikan pelagis besar
Ikan pelagis besar hidup pada laut lepas dengan kondisi lingkungan relatif  stabil, disamping itu ikan pelagis besar umumnya melakukan migrasi sepanjang tahun dengan jarak jauh. Secara biologis kelompok cakalang, tuna, dan tongkol termasuk kedalam kategori ikan yang mempunyai tingkah laku melakukan migrasi dengan jarak jauh (highly migratory species) melampaui batas-batas yuridiksi suatu negara. Keadaan tersebut akan menyebabkan penambahan dan pengurangan stok di suatu perairan yang berperan penting dalam sediaan lokal pada saat terjadi musim penangkapan (Nelwan A., 2004).
Ikan Pelagis besar menyebar di perairan yang relatif dalam, bersalinitas tinggi, kecuali ikan tongkol yang sifatnya lebih kosmopolitan dapat hidup di perairan yang relatif dangkal dan bersalinitas lebih rendah. Sifat epipelagis dan oseanis menjadikan penyebaran sumberdaya ikan pelagis besar secara vertikal sangat dipengaruhi lapisan thermoklin yang juga adalah struktur lapisan massa air yang terbentuk akibat perbedaan suhu. Demikian pula penyebaran secara horizontal yang dipengaruhi oleh faktor perbedaan suhu dan juga ketersediaan makanan, (Nelwan A., 2004).
 
III.             PEMBAHASAN
Pemanasan global telah banyak mempengaruhi kehidupan mahluk hidup yang ada didunia ini, baik kehidupan yang ada di daratan maupun kehidupan yang ada di lautan, begitu juga dengan ikan pelagis. Riberu P., (2002) mengatakan populasi yang hidup pada suatu habitat dalam lingkungan, dapat memenuhi kebutuhannya karena lingkungan mempunyai kemampuan untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan populasi disebut daya dukung (carrying capacity). Daya dukung lingkungan tersebut merupakan sumber daya alam lingkungan. Sementara itu kemampuan lingkungan mempunyai batas, sehingga apabila keadaan lingkungan berubah maka daya dukung lingkungan juga berubah. Hal ini karena daya dukung lingkungan dipengaruhi oleh faktor pembatas, seperti: cuaca, iklim, pembakaran, banjir, gempa, dan kegiatan manusia.
Ikan pelagis juga termasuk ikan yang selalu melakukan migrasi, baik migrasi untuk mencari makan (feeding migration) maupun migrasi untuk tujuan memijah (spawning ground). Ikan pelagis dalam melakukan migrasi selalu mencari suhu yang dapat ditolerir dengan kehidupannya. Ini berarti bahwa ketersediaan (stok) ikan pelagis memang dibatasi oleh suhu. Bahri, T. and P. Freon, (2000) dalam Fauziya et al., (2010) menjelaskan bahwa pembentukan schooling ikan umumnya dipengaruhi oleh  stimuli atau rangsangan dari luar seperti menghindari predator atau mencari lingkungan yang sesuai dan stimuli internal seperti memijah, mencari makanan dan sifat/tingkah laku ikan tersebut.
Menurut Hasyim B., (2004), keadaan lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme di dalam lingkungan tersebut, dimana setiap kelompok organisme mempunyai kesenangan/toleransi yang berbeda-beda. Misalnya suhu optimal untuk Yellow fin adalah 20-28° C, Albacore 14-22° C, Cakalang 26-29° C, Blue fin tuna 10-28° C dan Big eye tuna 17-23° C. Demikian pula pada daerah upwelling dimana produktifitas primernya cukup tinggi, sering didapatkan kelimpahan kelompok ikan yang lebih tinggi daripada daerah lainnya.
Kisaran suhu antara 28,1 - 29,10 C diduga sebagai batas toleransi ikan pelagis dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Pada umumnya ikan-ikan akan memilih perairan dengan nilai suhu tertentu untuk dapat hidup dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan pergerakan ikan ( Fauziya et al., 2010).
 Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C (Ayanfirdaus.wordpress.com).
Keberadaan ikan pelagis juga akan terancam apabila makanannya berkurang seperti yang dikatakan oleh Dahuri R., (2003) hilangnya spesies tertentu akan mengakibatkan spesies lain yang menjadi predatornya ikut mengalami kepunahan, hal ini terkait dengan sistem rantai makanan di perairan laut.
Indra, (2010) menceritakan, konsep Lotka Volterra (Lotka ahli fisika dari Amerika dan Volterra ahli matematika dari Italia)  pernah diterapkan pada perikanan di Italia setelah Perang Dunia II.  Ketika itu masyarakat Itali ramai-ramai menangkap ikan pelagis kecil yang ada di sekitar perairan pesisir.  Karena input atau effort yang cukup tinggi, sehingga lama-kelamaan terjadi tangkap lebih (overfishing) dan degradasi sumber daya ikan di tempat tersebut.  Setelah setahun kemudian, ternyata hasil tangkapan pelagis besar dari laut lepas mengalami penurunan secara signifikan.  Setelah diteliti diketahui bahwa ada hubungan rantai makanan antara pelagis kecil yang ada di perairan pesisir dan pelagis besar yang ada di laut lepas.  Karena ketersediaan pelagis kecil (sebagai prey) telah terdegradasi akibat overfishing, maka ikan pelagis besar (sebagai predator) kekurangan makan, sehingga mereka pindah (migrasi) ke tempat lainnya yang masih tersedia cukup makanan.
  
IV.      KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu permukaan laut yang diakibatkan oleh pemanasan global (global warming) dapat mempengaruhi secara fisiologis karena mempunyai kemampuan toleransi suhu  tertentu yang dominan antara 200 – 300 C dan juga dapat mempengaruhi kehidupan ikan pelagis terkait dengan rantai makanan.

Jumat, 07 Januari 2011

KEGIATAN MANUSIA DAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG

Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, antara lain: (1) Terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak adanya kawasan industri. (2) Terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air dan kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan hutan. (3) Terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan. Salah satu ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup adalah merusak hutan bakau.
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam didunia. Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan sumber keuntungan ekonomi yang besar dari perikanan dan pariwisata, ekosistem terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang memegang fungsi penting di negara-negara berkembang, khususnya di negaranegara kepulauan berkembang. Hingga kini, tekanan yang disebabkan oleh kegiatan manusia-seperti pencemaran dari daratan dan praktek perikanan yang merusak- telah dianggap sebagai bahaya utama untuk terumbu karang. Sementara masalah-masalah ini belum hilang, selama dua dekade terakhir telah muncul ancaman lain yang lebih potensial. Terumbu karang telah terpengaruh dengan naiknya tingkat kemunculan dan kerusakan karena pemutihan karang (Coral Bleaching), yaitu suatu fenomena sehubungan adanya aneka tekanan, khususnya kenaikan suhu air laut. Pemutihan yang parah dan lama dapat perluasan kematian karang dan peristiwa kematian dan pemutihan terumbu yang aneh di tahun 1998 telah mempengaruhi sebagianbesar daerah terumbu karang di kawasan Indo-Pasifik.
Bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska terdapat pada regional Indo-Pasifik yang terbentang mulai dari Indonesia sampai ke Polinesia dan Australia lalu ke bagian barat yaitu Samudera Pasifik sampai Afrika Timur.
Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia. Contohnya adalah ekosistem terumbu karang di perairan Maluku dan Nusa Tenggara. Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang Dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya (Anonymous, 2009).
Ekosistem Terumbu Karang
Menurut Timotius S, (2003) Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hew an karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hew an berrongga) atau Cnidaria. Yang disebut sebagai karang (coral) mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa. Lebih lanjut dalam makalah ini pembahasan lebih menekankan pada karang sejati (Scleractinia).
Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh Tentakel. Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya yang belum diketahui. (Anonymous, 2010).
Satu individu karang atau disebut polip karang memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm hingga yang sangat besar yaitu lebih dari 50 cm. Namun yang pada umumnya polip karang berukuran kecil. Polip dengan ukuran besar dijumpai pada karang yang soliter.
Anatomi karang atau disebut polip memiliki bagian-bagian tubuh terdiri dari:
1.  Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.
2. Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular)
3. dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen, dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang. Material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur). Bertempat di gastrodermis, hidup zooxanthellae yaitu alga uniseluler dari kelompok Dinoflagelata, dengan w arna coklat atau coklat kekuning-kuningan. Mengapa zooxanthellae ada dalam tubuh karang, kemudian apa perannya serta bentuk hubungan seperti apa yang ada antara karang dan zoox akan dibahas lebih lanjut pada bagian Asosiasi Zooxanthellae dengan karang.
Karang dapat menarik dan menjulurkan tentakelnya. Tentakel tersebut aktif dijulurkan pada malam hari, saat karang mencari mangsa, sementara di siang hari tentekel ditarik masuk kedalam rangka. Di ektodermis tentakel terdapat sel penyengatnya (knidoblas) , yang merupakan ciri khas semua hew an Cnidaria. Knidoblas dilengkapi alat penyengat (nematosita) beserta racun didalamnya. Sel penyengat bila sedang tidak digunakan akan berada dalam kondisi tidak aktif,dan alat sengat berada di dalam sel. Bila ada zooplankton atau hew an lain yang akan ditangkap, maka alat penyengat dan racun akan dikeluarkan.
Karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu menangkap zooplankton yang melayang dalam air dan menerima hasil fotosintesis zooxanthellae. Hasil fotosintesis zooxanthellae yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan proses respirasi karang tersebut (Muller-Parker & D’Elia 2001). Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal dari zooxanthellae (Tucket & Tucket 2002, dalam Timotius S, 2003).
Asosiasi karang dengan zoxanthellae adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis pada hew an, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Sebagian besar zooxanthella berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae pada karang diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang, ada yang mengatakan antara 1-5 juta sel/cm2. Meski dapat hidup tidak terikat induk, sebagian besar zooxanthellae melakukan simbiosis. Dalam asosiasi ini, karang mendapatkan sejumlah keuntungan berupa hasil fotosintesis, seperti gula, asam amino, dan oksigen.
Bagi zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat anorganik untuk fotosintesis. Sebagai contoh Bytell menemukan bahw a untuk zooxanthellae dalam Acropora palmata suplai nitrogen anorganik, 70% didapat dari karang. Anorganik itu merupakan sisa metabolisme karang dan hanya sebagian kecil anorganik diambil dari perairan.
Bagaimana zooxanthellae dapat berada dalam karang, terjadi melalui beberapa mekanisme terkait dengan reproduksi karang. Dari reproduksi secara seksual, karang akan mendapatkan zooxanthellae langsung dari induk atau secara tidak langsung dari lingkungan. Sementara dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae akan langsung dipindahkan ke koloni baru atau ikut bersama potongan koloni karang yang lepas. Mekanisme reproduksi lebih lanjut dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Seperti hewan lain, karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada reproduksi ini, polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni dan ada pembentukan koloni baru. Reproduksi seksual adalah reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum (fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih komplek karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan baru kemudian pertumbuhan dan pematangan).
Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
A. Bioerosi
Proses biologi yang bersifat merusak struktur terumbu karang yang umumnya disebut bioerosi. Bioerosi merupakan penghilangan CaCO3 dari terumbu atau dari koloni karang oleh proses-proses biologi. Organisme yang melalui aktivitasnya menyebabkan rangka kapur karang-karang pembentuk terumbu mengalami erosi dan melemah disebut bioeroder. Berdasar lokasi organisme itu berada dalam substrat kapur, bioeroder dapat dikelompokkan menjadi: Epilit (hidup di permukaan); kasmolit (dalam lubang dan celah); serta endolit (dalam rangka). Kelompok bioeroder tersebut mencakup Microborer (alga, jamur dan bakteri). Kelompok ini berperan sebagai pionir proses bioerosi, yang kemudian diikuti oleh macroborer (spon; gastropoda;barnakel; Sipunkulus; Polychaeta) Erosi yang diakibatkan terjadi di permukaan maupun hingga ke bagian dalam rangka terumbu. Bakteri mampu mencerna matriks organik kapur dan menyebabkan bioerosi bagian dalam. Jamur dengan senyaw a kimia yang dihasilkan dapat menggores permukaan karang, melunakkan, dan merusak kapur. Grazer: Scaridae (ikan kakatua), (Timotius S, 2003).
Dijelaskan juga oleh Anonymaus, (2008) pemangsaan terhadap terumbu karang dilakukan oleh predatornya yaitu Acanthaster planci, Chaetodontidae, Tetraodontidae).
B. Kerusakan terumbu karang oleh perubahan  fisika kimia air laut
Peruban fisika dan kimia air laut pada kondisi tertentu menyebabkan kematian atau karusakan terumbu karang. Dijelaskan oleh Westmacott S, et al., (2000), Tekanan penyebab pemutihan antara lain tingginya suhu air laut yang tidak normal, tingginya tingkat sinar  ultraviolet, kurangnya cahaya, tingginya tingkat kekeruhan dan sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan polusi. Mayoritas pemutihan karang secara besarbesaran dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan laut (SPL) dan khususnya pada HotSpots. HotSpot adalah daerah dimana SPL naik hingga melebihi maksimal perkiraan tahunan (suhu tertinggi pertahun dari rata-rata selama 10 tahun) dilokasi tersebut. Apabila HotSpot dari 1°C diatas maksimal tahunan bertahan selama 10 minggu atau lebih, pemutihan pasti terjadi. Dampak gabungan dari tingginya SPL dan tingginya tingkat sinar matahari (pada gelombang panjang ultraviolet) dapat mempercepat proses pemutihan dengan mengalahkan mekanisme alami karang untuk melindungi dirinya sendiri dari sinar matahari yang berlebihan.
Perubahan yang ektrim pada faktor-faktor pembatas seperti suhu, salinitas, salinitas, cahaya, kecerahan, gelombang dan arus akan sangat mempengaruhi  pertumbuhan terumbu karang bahkan bisa merusak dan mematikan terumbu karang. Anonymaus, (2008) menjelaskan secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C. Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32­35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas. Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %. udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya. Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang. Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang.
C. Kerusakan oleh Kegiatan Manusia
Di Pasifik bagian barat, SPL berada diatas batas selama lebih dari 5 bulan dibeberapa tempat. Beberapa bagian dari Great Barrier Reef  mengalami pemutihan, dengan kematian karang mencapai 70–80% dibeberapa lokasi (Goreau et al., 2000) sedangkan ditempat lain kematian karang kurang dari 17% (Wilkinson, 1998). Beberapa terumbu di Filipina, Papua Nugini dan Indonesia juga menderita, walaupun banyak terumbu di Indonesia bagian tengah selamat karena naiknya air dingin dari bawah laut (upwelling) (Westmacott S, et al., 2000).
Kerusakan yang terjadi yang paling besar dilakukan oleh berbagai kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Kegiatan manusia bisa secara langsung dan tidak langsung.  Kegiatan manusia yang secara langsung adalah kegiatan manusia yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang dan menyebabkan kerusakan dan kematian. Sedangkan kegiatan tidak langsung adalah kegiatan yang dilakukan manusia didarat yang menyebabkan kerusakan lingkungan lain yang dampaknya juga mengakibatkan rusaknya fisik maupun kimia lingkungan terumbu karang. Contohnya penebangan hutan yang mengakibatkan banjir bandang dan lumpurnya langsung kelaut, polusi udara yang menyebakan perubahan iklim dan lain sebagainya.

Masalah yang lebih rumit adalah ada sekelompok masyarakat yang berpendidikan dan bermodal kuat menggunakan bahan-bahan cyanida dan bom serta didukung dengan kapal dan peralatan selam untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan karang serta berkompetisi dengan masyarakat nelayan tradisional.  Modal dan keuntungan mereka digunakan juga untuk menetapkan kolusi dengan penguasa tertentu, sehingga bila tertangkap sering mengalami kesulitan untuk dihukum. Ekosistem terumbu karang mempunya potensi ekonomi yang sangat besar mendorong pengambilan sumberdaya yang dikandungnya  secara berlebihan (over exploitation) serta kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.  Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem terumbu karang adalah milik bersama (common property), sehingga bila mereka tidak emanfaatkannya pada saat ini, maka akan dimanfaatkan orang lain (tragedy of common).   Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut, sebagian besar dari mereka menggunakan racun cyanida, bahan peledak, muro ami, dan bubu yang semuanya itu merusak ekosistem terumbu karang.  Para pengguna racun Cyanida umumnya  bermaksud menangkap ikan karang untuk dipasarkan dalam keadaan hidup di negara tertentu, sehingga mereka membentuk jaringan penangkap dan pemasaran secara internasional.  Sedang ikan-ikan yang dibom biasanya mati dan mengalami kehancuran sehingga perlu dipasarkan dalam skala propinsi, regional atau nasional, (Tinungki GM., 2001)
Kegiatan Manusia Yang Mempengaruhi Ekosistem Terumbu Karang
Banyak tuduhan yang dialamatkan pada manusia sebagai penghancur homeostatis alam. Thomas Berry berbicara tentang manusia sebagai makhluk bumi yang jahat dan perusak. Ia juga menyebut kehadiran manusia sebagai penyebab penderitaan dunia. Bonaventura, filsuf-teolog di zaman patristik, dalam bukunya, “Perjalanan Menuju Jiwa Allah”, juga menyebut alam semesta sebagai ”kitab alam” yang ditulis Allah sebagai media manusia untuk bersatu dengan-Nya. Pasalnya, alam adalah ”sakramen” Tuhan, tangga untuk menuju keharmonisan bersama Sang Khalik. Sehingga, jika kita menyadari hal tersebut, tentu visi dan misi teologi kita harus sampai pada aspek keselamatan (soteriologi) yang bersifat universal, yaitu keselamatan yang menjangkau seluruh ciptaan Tuhan (manusia, alam, dan sebagainya) dalam rumah tangga dunia, (Gulo P., 2007).
Pemutihan akibat perubahan iklim bukanlah satu-satunya ancaman bagi terumbu karang. Para peneliti dan pengelola telah prihatin selama bertahun-tahun akan meningkatnya dampak kegiatan manusia yang menurunkan kondisi terumbu karang dunia (Brown, 1987; Salvat, 1987;Wilkinson, 1993; Bryant et al., 1998; Hodgson, 1999). Perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 10% dari terumbu karang dunia telah mengalami degradasi yang tak dapat dipulihkan dan 30% lainnya dipastikan akan mengalami penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang (Jameson et al., 1995). Analisa ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang dari kegiatan manusia (pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebihan dan praktek perikanan yang merusak, polusi darat dan erosi dan polusi laut) di tahun 1998 memperkirakan bahwa 27% dari terumbu berada di tingkat berisiko tinggi dan 31% lainnya berada di risiko sedang (Bryant et al., 1998)., (Westmacott S, et al., 2000).
Ancaman-ancaman ini sebagian besar merupakan hasil dari kenaikan penggunaan sumber-sumber pesisir oleh populasi pesisir yang berkembang secara cepat, ditunjang oleh kurangnya perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Terumbu yang telah mengalami tekanan akibat kegiatan manusia dapat menjadi lebih rentan untuk memutih bilamana  HotSpots  meluas, karena karang yang telah lemah dapat berkurang kemampuannya menghadapi naiknya suhu permukaan laut sebagai tekanan tambahan. Lebih lanjut lagi bahkan setelah suhu permukaan laut kembali normal, dampak manusia dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan karang baru.Tentunya, terumbu yang pernah dihadapkan pada gangguan manusia yang berlanjut seringkali menunjukkan kemampuan yang rendah untuk pulih (Brown, 1997; Westmacott S, et al., 2000).
Lebih lanjut Westmacott S, et al., (2000) mengatakan, terumbu yang tidak diganggu oleh kegiatan manusia dapat memiliki kemampuan yang lebih baik untuk pulih, bila keadaan lingkungan optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan karang. Secara historis, terumbu karang telah mampu pulih dari gangguan alam berkala (contohnya topan, predator yang berlebihan, dan beragam penyakit). Justru gangguan kronis dari kegiatan manusialah yang leih merusak saat ini. Ini membawahi pentingnya sedapat mungkin menghilangkan seluruh dampak langsung negatif manusia untuk member terumbu kesempatan terbaik agar pulih dari pemutihan. Dampak tersebut dihasilkan dari serangkaian kegiatan diantaranya:
• Pembangunan pesisir untuk perumahan, resort, hotel, industri, pelabuhan dan pembangunan marina seringkali menyebabkan reklamasi daratan dan penggerukan tanah. Ini dapat meningkatkan sedimentasi (sehingga mengurangi cahaya dan menutupi karang) dan menimbulkan kerusakan fisik langsung bagi terumbu.
•  Pengelolaan yang tidak berkelanjutan di daerah aliran sungai yang disesuaikan dan daerah pesisir, termasuk pengurangan lahan hutan, pertanian yang buruk dan praktek pemanfaatan lahan yang buruk, mengacu kepada pengaliran pestisida (yang membahayakan organism terumbu karang), pupuk (yang menyebabkan bertambahnya nutrisi) dan sedimentasi.
• Eksploitasi berlebihan dapat mengakibatkan sejumlah perubahan pada terumbu karang. Penangkapan jenis ikan pemakan alga yang berlebihan dapat mengakibatkan pertumbuhan alga yang eksesif, penangkapan yang berlebihan dari jenis ikan yang berperan amat penting dalam ekosistem terumbu dapat mengakibatkan meledaknya populasi jenis lain dibagian manapun dari rantai makanan.
•  Kegiatan perikanan yang merusak, seperti memakai alat peledak dan penggunaan jaring insang dan pukat dapat membuat kerusakan fisik yang ekstensif bagi terumbu karang dan mengakibatkan tingginya persentase kematian ikan yang belum dewasa (yaitu bibit ikan dewasa dimasa mendatang). Penggunaan sianida dan racun lain untuk menangkap ikan akuarium juga berdampak negatif.
•  Pembuangan limbah industri dan rumahtangga meningkatkan tingkat nutrisi dan racun dilingkungan terumbu karang. Pembuangan limbah tak diolah langsung ke laut menambah nutrisi dan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atau sumber lain khususnya amat mengganggu, karena mereka meningkatkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi terumbu hingga melenyapkan karang pada akhirnya.
• Kegiatan kapal dapat berdampak bagi terumbu melalui tumpahan minyak dan pembuangan dari ballast kapal. Walaupun konsekuensinya kurang dikenal, hal ini berdampak lokal yang berarti. Kerusakan fisik secara langsung dapat terjadi karena kapal membuang sauh di terumbu karang dan pendaratan kapal tak disengaja.
• Banyak kegiatan lain yang terjadi langsung di terumbu karang menyebabkan kerusakan fisik bagi karang dan oleh karena itu mempengaruhi integritas struktur karang. Kerusakan seperti ini seringkali terjadi dalam hitungan menit tetapi tahunan untuk memperbaikinya. Sebagai tambahan dari kegiatan sebagaimana disebutkan diatas, kerusakan dapat pula disebabkan karena orang menginjak karang untuk mengumpulkan kerang dan organisme lain didataran terumbu karang atau di daerah terumbu karang yang dangkal, dan penyelam (diving maupun snorkel) berdiri diatas atau mengetuk-ketuk terumbu karang.
Di jelaskan pula oleh Burke et al ., (2002) dalam Sudiono G., (2008) bahwa terdapat beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yaitu:
(1) Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik;
(2) Aktivitas di laut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal;
(3) Penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi;
(4) Penangkapan ikan secara berlebihan memberikan dampak terhadap keseimbangan yang harmonis di dalam ekosistem terumbu karang;
(5) Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom; dan
(6) Perubahan iklim global. 
Tindakan Pengelolaan Terumbu Karang
Tekanan perubahan iklim terhadap terumbu karang mengancam keberlanjutan ketersediaan pangan dan akan memaksa masyarakat di daerah pesisir berpindah karena kehilangan sumber makanan dan sumber pendapatan. Studi yang dilakukan World Wildlife Fund (WWF) Internasional juga menyebutkan bahwa jika dunia tidak mengambil tindakan efektif untuk menekan dampak perubahan iklim maka kawasan terumbu karang di Segitiga Karang (Coral Triangle) akan hilang pada akhir abad ini. Hal itu membuat kemampuan daerah pesisir untuk menghidupi populasi di daerah sekitarnya akan berkurang 80 persen. Direktur Jenderal WWF Internasional James Leape mengatakan, hal itu bisa terjadi karena keberadaan terumbu karang sangat memengaruhi kelangsungan ekosistem laut, termasuk kehidupan sumber daya hayati di dalamnya. Segitiga Karang yang meliputi kawasan Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Niugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste mencakup 30 persen dari terumbu karang di dunia dan 76 persen dari spesies karang yang membentuknya merupakan tempat bertelur jenis ikan strategis, seperti ikan tuna,  (Anonymaus, 2009).
Pemulihan terumbu karang beragam macamnya mulai dari terumbu karang yang satu ke yang lain sesuai dengan keunikan setiap lokasi. Westmacott S, et al., (2000) dalam bukunya menyarankan tindakan pengelolaan terumbu karang dengan melihat kondisi yang optimal dan pengelolaan yang hati-hati dapat membantu, dengan mengurangi dampak negatif dengan memperbaiki keadaan bagi pemulihan. Pemulihan hanya terjadi bila tekanan tambahan akibat kegiatan manusia dibatasi. Kondisi yang optimal untuk pemulihan ekosistem terumbu karang secara maksimal meliputi:
• Permukaan dasaran yang padat, bebas alga dimana larva karang dapat menempel dan tumbuh; bilamana karang mati selama pemutihan, batu yang mereka tinggalkan menjadi substrat yang potensial untuk peremajaan.
• Daerah bebas penangkapan ikan yang berlebihan, sedimentasi, polusi, pupuk, limbah tak diolah dan bahanbahan lain yang dapat mengurangi pertumbuhan dan mempengaruhi kelangsungan peremajaan karang; kualitas air yang baik dan pengurangan dampak fisik yang mampu menunjang pertumbuhan dan peremajaan karang.
• Keberadaan karang dewasa yang matang secara seksual didaerah tersebut sebagai penyedia larva baru, kemampuan terumbu karang yang tak terganggu, jauh dari terumbu karang yang rusak, untuk menyediakan larva akan bergantung dari arus laut yang sesuai dan kesehatan terumbu karang induk. Karang lokal yang tersisa dapat pula menjadi sumber larva di daerah tersebut.
• Perlindungan dari penangkapan ikan yang berlebihan untuk mempertahankan populasi ikan yang sehat, ikan herbivora akan memakan alga dan menjaga karang yang mati sebagai substrat bagi kolonisasi karang.
Kondisi-kondisi ini menurutnya dapat dimaksimalkan dengan pengelolaan yang terencana dengan baik. Lebih lanjut   Westmacott S., et al., (2000) berbicara tentang strategi pelestarian terumbu karang dalam konteks Daerah Perlindungan Laut, perikanan, pariwisata dan Pengelolaan Pesisir Terpadu.
A. Daerah Perlindungan Laut (DPL)
DPL dapat memegang peranan yang semakin penting bagi pelestarian dan  pengelolaan terumbu karang nantinya dengan cara:
• Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat menjadi sumber larva dan sebagai alat untuk membantu pemulihan.
• Melindungi daerah yang rapuh untuk HotSpot, contohnya karena kenaikan air dingin dari bawah laut dimasa mendatang, nantinya.
• Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali.
• Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya.
Tindakan-tindakan pengelolaan dalam  kaitannya dengan Daerah Perlindungan Laut adalah:
1. Pengidentifikasian wilayah-wilayah terumbu karang yang kurang rusak dan meninjau ulang sistem zonasi dan batasanbatasan. Survei terumbu-terumbu karang dikawasan DPL adalah keharusan yang amat penting untuk dilakukan, untuk mengidentifikasi terumbu karang sehat dan yang dapat menyumbang bagi pemulihan wilayah tersebut secara keseluruhan.
2. Menjamin bahwa DPL dikelola secara efektif. Terumbu-terumbu karangyang rusak di DPL kemungkinan pulih lebih cepat jika mereka dikelola secara tepat dan tidak diberikan beban tambahan seperti contohnya kunjungan wisatawan yang banyak sekali.
3. Mengembangkan pendekatan lebih strategis untuk mendirikan sistem DPL. Untuk pengembangan sistem DPL skala nasional dan regional, pendekatan lebih strategis mungkin diperlukan untuk memperhatikan terumbu karang sumber dan penampung dan pola penyebaran larva karang.

B. Perikanan
Terumbu karang membantu perikanan dalam nilai besar, termasuk ikan dan jenis invertebrata. Pemanfaatan oleh manusia dapat timbul dalam skala komersial besar atau dalam skala artisanal kecil. Tujuan utama dari beberapa perikanan adalah mengumpulkan makanan, sementara perikanan lainnya dapat berkaitan dengan pengumpulan barang-barang cinderamata dan perdagangan akuarium. Kesemua bidang usaha ini dapat terpengaruh oleh pemutihan karang. Sementara kebanyakan penelitian perikanan saat ini masih terfokus pada ikan yang dapat dimakan, kita dapat saja menggunakan teori mutakhir untuk mengurangi dampak potensial pemutihan dan degradasi terumbu karangpada perikanan terumbu karangsecara garis besar. Setelah mengkaji ulang teori-teori dasar perikanan kami akan menerapkan prinsip pencegahan untuk membuat beberapa usulan dalam garis besar.
Tindakan-tindakan dibidang perikanan adalah:
1. Mendirikan zona dilarang memancing dan pembatasan alat perikanan untuk melindungi tempat berkembang biak dan menyediakan tempat berlindung bagi ikan.
2. Mempertimbangkan ukuran perlindungan tertentu untuk:
• Pemakan alga, seperti ikan kakatua dan ikan butane yang berperan penting untuk mempertahankan substrat yang tepat bagi penempelan larva karang.
• Ikan pemakan karang, seperti ikan kepe-kepe dan ikan damsel (damselfish) yang ditangkap untuk perdagangan akuarium, mungkn berkurang populasinya karena habitat dan sumber makanannya telah menurun.
3. Memberlakukan peraturan yang melarang praktik penangkapan ikan yang merusak (seperti dengan peledak, jaring insang (gill net), pukat cincin (purse seine), sianida dan racun lain) yang dapat merusak terumbu karang.
4. Memonitor komposisi dan ukuran penangkapan untuk mengevaluasi kesuksesan strategi pengelolaan dan mengimplementasikan strategi baru jika diperlukan.
5. Mengembangkan mata pencaharian pilihan bagi komunitas nelayan bila diperlukan.
6. Membatasi masuknya nelayan baru ke daerah penangkapan ikan dengan sistem pemberian ijin.
7. Mengatur pengambilan biota-biota terumbu karang untuk akuarium dan cindera mata. Peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan ini ada di beberapa negara dan harus digalakkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) membantu mengontrol perdagangan internasional dengan memberikan ijin eksport seluruh karang batu dan beberapa kerang (contohnya kima raksasa). Negaranegara peserta CITES pun harus melaksanakankewajiban mereka.

C. Pariwisata
Tindakan-tindakan pengelolaan di bidang pariwisata adalah:
1. Mempertahankan populasi ikan sehat bagi para penyelam dan snorkellers. Ikan yang beraneka ragam dan warna-warni merupakan atraksi utama bagi penyelam dan snorkeller, dan terumbu karang yang terdegradasi akhirnya akan menurunkan jumlah ikan keseluruhan. Metode penyelesaiannya sama dengan tindakan dibidang perikanan. Sehubungan dengan pariwisata, tindakan-tindakan ini meliputi:
• Mengurangi tekanan dari penangkapan ikan di sekeliling daerah penyelaman dan snorkelling.
• Mendirikan zona dilarang memancing dimana penyelaman dan snorkelling diperbolehkan.
• Mengadakan pemisahan antara zona untuk penyelaman dan snorkelling dengan zona penangkapan ikan guna mengurangi konflik.
• Menghentikan praktik penangkapan ikan yang merusak yang menurunkan populasi ikan dan merusak keunikan pesona bawah air.
2. Melibatkan wisatawan dalam permasalahan pemutihan. Banyak penyelam dan snorkeller ingin terlibat dalam kegiatan pelestarian terumbu karang dan akan menyambut baik kesempatan untuk berpartisipasi pada prakarsa-prakarsa yang berhubungan dengan pemulihan terumbu karang.
3. Diversifikasi industri pariwisata. Dalam rangka memonitor perubahan pada kunjungan wisata ke terumbu karang, survei berkala wajib dilakukan. Monitoring perubahan pasar pariwisata akan mengindikasikan apakah pemasaran kegiatan pariwisata alternatif diperlukan untuk mempertahankan industri.
4. Mengurangi dampak kegiatan pariwisata secara umum. Pada terumbu karang yang telah terdegradasi dan memutih, pengelolaan kegiatan pariwisata sekelilingnya amat diperlukan. Dampak-dampak berikut ini, antara lainnya, harus dikurangi atau dihilangkan;
• Kontak langsung dari penyelaman atau snorkeling (karena berjalan atau mengetuk-ketuk terumbu); menyediakan informasi bagi para penyelam dan mendidik mereka tentang bahaya potensial.
• Situs menyelam atau terumbu karang yang digunakan terlalu sering; merelokasi situs penyelaman atau membatasi jumlah penyelam di tempat menyelam yang terkenal.
• Kerusakan fisik dari kapal yang menjangkar (pelayaran penyelaman, nelayan, pesiar, dan lain-lain) dapat dikelola dengan menunjuk zona penjangkaran, menyediakan pilihan, seperti mooring, dan memberlakukan peraturan-peraturan lain sehubungan dengan penjangkaran ramah lingkungan.
• Kontaminasi dari pembuangan limbah dekat pantai (contohnya limbah dari resort); mungkin lebih tepat bila resort pantai memproses air buangan atau mendaur ulang untuk pemeliharaan taman mereka sehingga nutrisi-nutrisi buangan dapat dipergunakan oleh tanaman.
• Sedimentasi dan polusi konstruksi bangunan (contohnya dermaga kecil dan dermaga besar, pelabuhan dan marina); tersedia bimbingan untuk rupa-rupa kegiatan konstruksi dan pelaksanaannya, dan berbagai metode telah dikembangkan untuk mengurangi dampak tersebut.
5. Mendorong wisatawan untuk menyumbang dana untuk usaha pemulihan dan pengelolaan. Mengelola terumbu karang, yang sehat maupun yang tengah pulih dari kerusakan, membutuhkan sumber pendanaan yang memadai dimana merupakan sesuatu kekurangan dari negara-negara yang terpengaruh paling kritis. Indusri pariwisata yang menggantungkan diri atau memanfaatkan terumbu karang secara ekstensif yang terdapat di banyak daerah, harus menyumbang bagi pengelolaan perlindungan terumbu karang.
6. Menyebarluaskan informasi kepada umum melalui pendidikan dan propaganda lainnya. Industri pariwisata dapat memegang peranan penting dalam pendidikan dan kegiatan-propaganda lainnya.

D. Pengelolaan Pesisir Terpadu
Terumbu karang, khususnya terumbu karang tepi, seringkali ditemui dekat pesisir dan terletak mungkin hanya beberapa meter dari garis pantai. Pertumbuhan populasi yang cepat dan naiknya permintaan untuk industri, pariwisata, perumahan, pelabuhan dan tanjung menghasilkan perkembangan pesisir yang ekstensif. Oleh karena itu, tindakan-tindakan berikut perlu ditekankan:
1. Menerapkan sistem Daerah Perlindungan Laut dalam kerangka kerja Integrated Coastal Management (ICM) / Pengelolaan Pesisir Terpadu, yang perlu diperhatikan adalah pengetahuan tentang inter-koneksi (inter-connectedness), kepekaan dan kemampuan pulih terumbu karang yang berbeda.
2. Mengimplementasikan ukuran-ukuran untuk meningkatkan penangkapan ikan yang dikelola berkelanjutan dan keterpaduan dari semua ini dalam garis besar perkembangan ekonomi daerah pesisir.
3. Pengembangan dan implementasi dari alat perencanaan, garis-garis acuan, peraturan dan ukuran-ukuran insentif dan mekanisme-mekanisme lain untuk mempromosikan konstruksi ramah lingkungan dan bentuk lain dari pemanfaatan tanah dan pembangunan pesisir.
4. Peraturan bagi polusi bersumber dari daratan. Polusi alam ini harus ditangani secara internasional, regional, nasional dan lokal serta banyak prakarsa sedang direncanakan. Pengelola terumbu karang dan pembuat keputusan dapat membantu mempromosikan teknologi baru dan mendorong metode-metode temuan baru untuk limbah buangan ramah lingkungan, seperti pemanfaatan lahan basah untuk menyaring keluar limbah kaya nutrisi, dan “kering” atau kompos kotoran.
5. Pengelolaan pengapalan dan pengangkutan lain untuk mengurangi kerusakan pada terumbu karang dan ekosistem yang berasosiasi dengan penjangkaran, pendaratan (grounding), tumpahan minyak dan limbah buangan
6. Perlindungan garis pantai terhadap erosi. Erosi pesisir dapat meningkat jika terumbu karang yang sebelumnya melindungi pantai dari ombak dan badai, dirusak. Erosi beberapa meter dilaporkan terjadi di pantai dibeberapa daerah Seychelles dimana terumbu karang telah terkena pemutihan.
E. Teknik-teknik Restorasi
Karena restorasi karang secara aktif umumnya mahal dan tidak selalu berhasil, pengelola harus menilik situasinya secara cermat sebelum melaksanakan program tersebut dan mempertimbangkan beberapa faktor yaitu:
1. Apa tujuan proyek restorasi? Apakah terumbu karangyang direstorasi untuk pelestarian keanekaragaman, pariwisata, perikanan, perlindungan terhadap erosi pesisir atau hanya untuk penelitian saja? Tujuan tersebut akan membantu penentuan pemakaian metode.
2. Apa skala dari proyek restorasi tersebut? Apakah daerah yang terdegradasi merupakan lokasi tertentu (yaitu ditempat kapal biasa membuang jangkar atau berlabuh), sebagian atau seluruh komplek terumbu? Jika daerah yang rusak adalah luas (contohnya sehabis pemutihan besar-besaran), perhatian khusus harus diberikan seperti pada arah mana restorasi akan dilakukan dalam hal pola-pola arus (mendorong pembibitan karang ke hilir tetapi menghindari sumber-sumber polusi dari hulu) dan terbukanya kemungkinan pengrusakan akibat gelombang, sumber-sumber polusi dan kekeruhan air.
3. Ketika tujuan dan skala telah ditentukan, evaluasi biaya proyek perlu dilakukan dengan memperhatikan penggunaan dana yang seefektif mungkin.
4. Bagaimana tingkat kesuksesan dari metode yang akan dipakai? Metode manakah yang paling hemat biaya untuk daerah tersebut? Penting!, penggunaan metode tidak boleh menambah kerusakan terumbu.
5. Apa yang akan menjadi kemampuan bertahan jangka panjang dari program ini? Untuk menjamin kesuksesan, kesinambungan proyek harus cukup lama sehingga kemajuan restorasi dapat dimonitor.
6. Apakah komunitas setempat dan pengguna terumbu karang dapat dilibatkan? Partisipasi aktif dari mereka yang mata pencahariannya terkait dengan terumbu karang akan meningkatkan peluang keberhasilan.
F. Monitoring dan Penelitian
Program monitoring yang dirancang dengan baik adalah perangkat sangat penting untuk mengikuti perubahan-perubahan pada terumbu karang yang memutih dan untuk mengawasi kondisi umum dari terumbu yang tidak terkena dampak pemutihan. Monitoring harus dimulai secara sederhana, adaptif dan fleksibel, dan dirancang sesuai dengan tujuan pengelolaan.
Masih banyak yang harus kita pelajari tentang fenomen pemutihan karang dan dampak potensialnya bagi terumb karang dan orang-orang yang bergantung kepadanya. Pengelola terumbu dan pembuat keputusan dapat mendorong ilmuwan, laboratorium-laboratorium laut, LSM dan institusi pemerintahan agar melaksanakan studi-studi untuk menjembatani jurang pemisah antara pengetahuan kita dan degredasi terumbu karang.